Saturday, May 9, 2015

Mazhab Filsafat: The Vienna Circle

MAZHAB LINGKARAN WINA DAN PEMIKIRANNYA

A.    Pendahuluan
            Filsafat itu adalah sebuah ciptaan dari manusia. Maka tenaga dan pikiran yang ada pada manusia yang mengambil inisiatif dan mempunyai peranan penting. Tetapi dalam hal ini bukanlah semata-mata pikiran itu saja yang bertindak, sebab yang bertindak itu tetap manusia itu sebagai satu kesatuan. yang berfilsafat itu adalah manusia bukan fikiran, dan dengan filsafat manusia akan berusaha mencapai tujuan yang telah ditentukannya. Banyak sekali aliran filsafat di dunia ini, sehingga banyak sekali pandangan-pandangan. Diantaranya yaitu “Lingkaran Wina”. Untuk itu penulis mencoba membahas Lingkaran Wina dengan segala keterbatasan pengetahuan dan rujukan.

B.     Rumusan Masalah
Penulis mencoba merumuskan masalah kedalam:
1.      Apa hakikat Lingkaran Wina
2.      Siapa tokoh-tokoh Lingkaran Wina
3.      Apa pemikiran Lingkaran Wina

C.    Asalnya
Lingkaran Wina adalah sekelompok filsuf dan ilmuwan radikal yang lahir pada tahun 1923 seusai Perang Dunia I melalui Moritz schlick (1882-1936), sewaktu ia menjadi profesor filsafat ilmu pengetahuan induktif di Unversitas Wina[1] dan mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1960-an.[2]
Lingkaran Wina merupakan kelompok neo-positivisme (positivisme logis) yang melanjutkan proyek positivisme. Positivisme adalah wacana yang mendominasi ilmu pengetahuan selama paruhan pertama abad ke-19. Tokoh positivisme yang paling terkenal adalah Auguste Comte.
Awalnya mereka merupakan sekelompok filsuf dan ahli yang berkumpul secara periodik di Wina sejak tahun 1922 hingga 1938. Sebenarnya sebelum tahun 1922 telah ada ahli-ahli yang memiliki kesamaan minat dan menjadi cikal bakal kelompok ini. Beberapa tokoh awal adalah Ernst Mach, Phillip Frank, Otto Neurath, dan Hans Hahn[3]. Pada tahun 1922, Rudolf Carnap tiba dan bergabung ke Universitas Wina, di mana merupakan pusat kegiatan akademis para anggota lingkaran Wina. Kemudian bergabunglah juga filsuf dan ahli lain, seperti Herbert Feigl, Kurt Goedel, R. von Mises, dan E. Schroedinger. Pada tahun 1929, kelompok ini menerbitkan tulisan yang berisi pandangan-pandangan mereka, yakni Wissenschaftliche Weltanshauung, Der Wiener Kreis. Tulisan tersebut disusun oleh Carnap, Hahn, dan Neurath. Selain itu, dari tahun 1930-1939, mereka juga menerbitkan jurnal Erkenntnis yang berisi ide-ide dari lingkaran Wina[4]
Filsafat Analitik adalah suatu aliran yang berasal dari suatu kelompok filsuf yang menyebut diri The Vienna Circle. Filsafat analitik Lingkaran Wina itu berkembang hingga ke luar jerman, khususnya Inggis dan Polandia. Para umumnya para filsuf analitik menolak metafisikan karena mereka sependapat bahwa metafisika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[5]
Lingkaran Wina ini muncul pada Tahun 1920-an di Wina[6]. Lingkaran Wina disebut juga dengan Positivisme Logis ( Logical Positivism )[7]
Lingkaran Wina itu adalah sebuah kelompok dimana para filsuf memikirkan tentang ilmu pengetahuan dan para ilmuwan memikirkan tentang filsafat.[8]


D.    Tokohnya
Setiap aliran filsafat tentu punya tokoh yang mempengaruhinya, dan punya anggota-anggota yang berperan didalamnya dalam menyebarkan pemahamannya itu. Keanggotaan kelompok ini selau berganti, diantara tokohnya yaitu:[9]
1.      Otto Neurath[10]
2.      Rudolph Carnap[11] (1891-1970), seorang ahli Logika.[12]
3.      Philip Frank,[13] seorang Ahli Ilmu Pasti.[14]
4.      Moritz Schilck (1882-1936).[15]
5.      Herbert Feigl
6.      Kurt Godel
7.      Alfred Jules Ayer. Merupakan seorang filsuf kelahiran London, studi di Oxford dan pada tahun 1932-1933 berada di Wina dan atas ajakan Moritz Schlick ikut dalam diskusi bulan dengan kelompok filsuf dan ilmuwan radikal yang menamakan diri dengan Lingkaran Wina. Dan menulis buku “Language, Truth and Logic”. Ini merupakan buku yang menjadi dasar keyakinan Lingkaran Wina.[16]
8.      Gottlob Frege (1848-1925)
Pada tahun 1929 Carnap, Hans Hahn dan Otto Neurath menerbitkan sebuah menifesto yang berjudul “Wissenscaftliche Welt-auffassung: der Wiener Kreis” ( Pandangan Dunia Ilmiah Kelompok Wina)[17]. Pandangan Lingkaran Wina banyak sekali diikuti oleh ilmuwan kemudian hari. Dan mengeluarkan konsep ilmu pengetahuan pada dasarnya terdiri dari dua bentuk, yaitu :
1)      Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman empiris dan positif.
2)      Metode ilmiah yang ditetapkan adalah analisis logis (Logical Analysis).[18]

The Vienna Circle ini bercita-cita untuk mewujudkan kesatuan ilmu atau Unified Science.[19]
Menurut Victor Kraft bahwa:
“Membangun kesatuan pengetahuan merupakan tugas sejarah dari filsafat. Demikian pula Lingkaran Wina tidak melupakan tugas itu. Orang tidak dapat diam-diam menyetujui suatu kesejajaran dari sistem-sistem konseptual dari fisika, biologi, psikologi, sosiologi dan ilmu-ilmu historis. Seolah-olah ilmu-ilmu itu tak dapat dibandingkan satu sama lain, dan seolah-olah dalam tiap-tiap ilmu itu diucapkan bahas yang berlainan satu sama lain … hukum-hukum dan konsep-konsep dari ilmu-ilmu khusus itu seharusnya termasuk di dalam satu sistem tunggal, tak dapat begitu saja bersuaian tanpa adanya kaitan. Keduanya harus membentuk ilmu pengetahuan terpadu dengan sistem konseptual (satu bahasa bagi segala ilmu pengetahuan).”[20]

E.     Postivisme dan Neo-Positivisme
Neopositivisme modern berbeda dengan positivisme masa lalu. Karena neopositivsme ada perhatian lebih besar pada logika dan berhubungan erat antara logika dan bahasa. Akan tetapi positivisme dan neopositivsme sama-sama menolak segala kebenaran yang tidak dibenarkan oleh dasar-dasar ilmiah.[21]
Positivisme brmula pada filsuf A. Comte ( 1798-1857). Comte merupakan sosiolog pertama yang mengatakan bahwa pemikiran setiap manusia, pemikiran setiap ilmu, dan pemikiran setiap suku bangsa pada umumnya melewati tiga tahapan:
1)      Tahap Teologis
2)      Tahap Metafisis
3)      Tahap Positif-ilmiah
Suku-suku primitif membutuhkan dewa-dewa untuk menerangkan gejala-gejala. Para suku-suku yang sudah mulai dewasa memakai prinsip-prinsip abstrak-metafisi untuk menerangkan kenyataan. Dan orang masa kini hanya memakai metode-metode positif-ilmiah.[22]
Berkembangnya Lingkaran Wina dan Positivisme Logis harus dilihat dalam konteks perkembangan masyarakat di Eropa pada awal abad ke-20, saat Perang Dunia I. ketika kekuatan politik dan pemerintah tumbang, maka Lingkaran Wina dan Positivisme Logis berdiri pada barisan depan membangun Eropa.

F.     Neo-Positivisme
Empirisme Hume dilanjutkan dalam Filsafat Positivisme yang kemudian disebut dengan neopotivisme, logisme dan saintisme. Bapak positivisme adalah Auguste Comte. Dia membedakan kepada tiga tahap sejarah kebudayaan:
1.      Tahap Teologi. Pada tahap ini persoalan-persoalan dipecahkan dengan agama.
2.      Tahap Metafisika. Pada tahap ini persoalan yang muncul dipecahkan melalui dasar-dasar abstrak metafisis.
3.      Tahap ilmu-ilmu positif. Persoalan-persoalan diselesaikan dengan ilmu.[23]
Menurut Positivisme Comte bahwa hal yang tidak dapat dibenarkan oleh observasi dan eksperimen hanyalah proyeksi dan hasil ciptaan fantasi. Dan tidak ada kenyataan selain kenyataan yang dapat menjadi pokok science. Kemudian positivisme diteruskan menjadi neopositivisme.[24]
Ide-ide Comte tentang ilmu-ilmu positif telah mencapai puncak dalam sosiologi dan ilmiah pada abad ke-20 dan diteruskan oleh Lingkaran Wina. Para pendirinya dikenal dengan “Positivisme Logis”, “Neo-Positivisme” atau dengan Empirisme Logis”. Paham mereka dapat kita rangkum bahwa:
1)      Mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.
2)      Menganggap pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diverifikasi secara empiris, seperti etika[25], estetika[26], agama, metafisika[27] sebagai nonseser.
3)      Berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan didalam satu bahasa ilmiah yang universal (Einbeistswissenschaft/ Unified Science)
4)      Memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan.[28]

Alfred Ayer merupakan seorang pemikir neopositivistis yang berpendapat bahwa realitas pada dasarnya dapat disamakan dengan data-data indrawi (sense-data). Maka data yang tidak didsarkan pada data-data indrawi disebut tidak bermakna (meaningless).[29]
G.    Positivisme Logis atau Analitik Logis.
Filsafat analitik adalah aliran filsafat yang muncul dari kelompok filsuf yang menyebut dirinya lingkaran Wina. Filsafat analitik lingkaran Wina itu berkembang dari Jerman hingga ke luar, yaitu Polandia dan Inggris. Pandangan utamanya adalah penolakan terhadap metafisika. Bagi mereka, metafisika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Jadi filsafat analitik memang mirip dengan filsafat sains.[30]
Analisis logis adalah sebuah metode yang digunakan untuk menguji proposisi[31] dan membagi kepada dua macam proposisi:
1)      Proposisi yang dapat lebih disederhanakan menjadi proposisi paling sederhana yang dapat diuji secara empiris.
2)      Proposisi yang tidak dapat diuji sehingga dianggap tidak memiliki makna.
Sehingga contoh-contoh yang masuk dalam kategori proposisi yang tidak memiliki makna, maka menurut Lingkaran Wina adalah proposisi metafisika dan teologi.[32]
Para pemikir positivisme logis berpendapat bahwa tugas terpenting dari filsafat adalah untuk merumuskan semacam kriteria penentuan untuk membedakan antara pernyataan yang memadai dan pernyataan tidak memadai. Pada intinya, mereka ingin merumuskan semacam aturan-aturan koserpendensi, di mana observasi lansung untuk menguji suatu pernyataan dapat lansung dilakukan.[33]
Pendapat Lingkaran Wina dapat dapat kita rangkum bahwa hanya kalimat-kalimat logika dan matematika dan kalimat-kalimat yang menganai pengamatan inderawi mempunyai makna, yang lain-lain tidak sah dan hanya berdasarkan kekacauan dalam pemakaian bahasa. Karena itulah gaya berpikir mereka sebagai Positivisme Logis, dan kemudian sering di istilahkan dengan Empiris Logis.[34]
H.    Teori Verifikasi.
Verifikasi yaitu sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa tembaga dapat mengalirkan listrik, dan ini terbukti benar dan tidak dapat dibantakan lagi.[35] Karl Popper dalam bukunya The Logic of Scientific Discovery mengemukakan bahwa aturan-aturan untuk menetapkan hipotesis-hipotesis baru dan teori-teori baru tidak ditentukan oleh komfirmasi positif, kolaborasi dalam percobaan dan pangalaman, ataupun oleh verifikasi, misalnya semua tembaga di dalam alam semesta ini dapat mengalirkan listrik, ini tidak dapat di verifikasi, dikarenakan tidak mungkin terjadinya verifikasi.[36]
Alfred Jules Ayer dalam Language, Truth and Logic mengemukakan bahwa bahasa (proposisi) hanya bermakna (benar) jika dapat di verifikasi atau dianalisis. Ia membedakan dua verifikasi:
1)        Verifikasi ketat (strong Verifiable).
2)        Verifikasi lunak (Soft Variable).
Verifikasi ketat adalah verifikasi yang dilakukan dengan menghadapkan pernyataan dengan fakta secara lansung. Sedangkan verifikasi lunak yaitu adanya kemungkinan untuk memverifikasi pernyataan dimasa depan, yang dimungkinkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan tekbologi. Prinsip verifikasi yaitu “makna suatu proses proposisi adalah metode verifikasinya”.[37]
Verifikasi itu mempunyai makna yang bisa kita rangkum sebagai berikut:
1)      Satu proposisi hanya berarti bila proposisi itu dapat dibuktikan benar salahnya.
2)      Ada bentuk-bentuk kebenaran logis dan bentuk-bentuk kebenaran faktual.
3)      Kebenaran faktual hanya dapat dibuktikan melalui pengalaman (verifikasi).[38]
Prinsip verifikasi empiris mempunyai implikasi radikal bahwa kalimat-kalimat metafisika dan etika harus dianggap tidak bermakna dan karena itu tidak sah. Pernyataan metafisika itu justru karena bersifat meta-fisika, maksudnya melampuai alam inderawi dan itu tidak dapat dipastikan secara empiris. Maka istilah subtansi, hakikat, sebab-akibat, roh, akal budi dan tuhan tidak menunjukkan ke dalam kategori inderawi. Maka tidak dapat di verifikasi. Maka karena itu Postivisme Logis menyatakan kalimat-kalimat tersebut tidak bermakna atau kosong.[39]
Cita-cita aliran ini ialah membuktikan bahwa masalah-masalah yang dipermasahkan dan dipersoalkan dalam metafisika merupakan masalah bahasa saja.[40]
Oleh karena itu para anggota Lingkaran Wina sangat berminat untuk mendirikan suatu dasar intelektual yang kukuh bagi semua sains. Mereka menganggap bahwa sains walaupun tidak terpaku secara sempurna, sesungguhnya secara logika tercakup pada sistem yang koheren. Dan juga menganggap bahwa pokok filsafat adalah menganalisa bahasa, khususnya bahasa sains.[41]
Boleh CopyPaste dengan menyumbang seikhlas saudara untuk tulisan ini! No Rekening BRI : 392101001051508 a/n FAUZIL MUBARRAQ
I.       Analisa Penulis dan Kesimpulan
Lingkaran Wina ingin menunjukkan dan membuktikan pada kita bahwa mereka mencoba melawan tradisi yang sudah lama di anut oleh manusia dalam menjalani hidup di muka bumi ini. Mereka mengambil pendekatan bahwa aliran mereka tidak berkaitan dengan metafisika dan bagi mereka metafisika merupakan penggunaan kalimat sahaja atau pada penggunaan bahasa semata. Bagi mereka penggunaan subtansi, roh dan lain sebagainya merupakan kata yang tidak punya makna dan berkuatan kosong bagi mereka. Menurut mereka bahwa semua kalimat dan proposisi harus dilakukan pembuktian empiris. Walaupun aliran mereka bertolak belakang dengan pahaman tradisional, akan tetapi membawa pengaruh besar pada kebangkitan Eropa setelah perang dunia pertama.


Daftar pustaka
Adelbert Snijders , Manusia dan Kebenaran, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Alfred North Whitehead, Mencari Tuhan Sepanjang Zaman: Dari Agama-Kesukuan Hingga Agama-Universal, Bandung, Mizan, 2009.
Franz Magnis-Suseno, 12 tokoh etika abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Cet: 2, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
id.wikipedia, Lingkaran Wina, Artikel di akses tanggal 04 November 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Lingkaran_Wina
Id.wikipedia, Filsafat Analitik di akses tanggal 29 November 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_analitik di Akses tgl 29 – 11 – 2014.
Jan Hendrik Rapar, Pustaka Filsafat Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, Yogyakarta: Kanisius, 2010
Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers - 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM - Abad 21 yang menginspirasi Dunia Bisnis, Yogyakarta: Andi Offset, 2010.
K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Teraju, 2005.
Reza AA Wattimena, Filsafat & Sains(Sebuah Pengantar), Jakarta: Grasindo, 2008.
Suhar, Filsafat Umum, Cet. 2, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005.




[1] Suhar, Filsafat Umum, Cet. 2, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010),, hlm. 269.
[2] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 150.
[3] Franz Magnis-Suseno, 12 tokoh etika abad ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 53.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Lingkaran_Wina - visit tanggal 4 – 11 – 2014.
[5]Jan Hendrik Rapar, Pustaka Filsafat Pengantar Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 121.
[6] Jan Hendrik Rapar, Pustaka Filsafat Pengantar Filsafat,... hlm. 121.
[7] Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 53.
[8] James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, ( Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 289.
[9] James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, ... hlm. 289 - 290.
[10] Otto Neurath (Jerman: [Nɔʏʀaːt] , 10 Desember 1882 - 22 Desember 1945) adalah seorang filsuf Austria bidang ilmu pengetahuan, Sosiolog, dan ekonom Politik. Sebelum ia Melarikan diri negara asalnya pada tahun 1934, Neurath adalah salah satu tokoh terkemuka dari Lingkaran Wina. Buka http://en.wikipedia.org/wiki/Otto_Neurath
[11] Rudolf Carnap (lahir 18 Mei 1891 di Ronsdorf, Jerman - meninggal 14 September 1970 di California, Amerika Serikat pada umur 79 tahun) adalah filsuf positivisme logis kelahiran Jerman yang memberi kontribusi penting dalam logika, analisis bahasa, teori peluang, dan filsafat ilmu. Buka http://id.wikipedia.org/wiki/Rudolf_Carnap
[12] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer …, hlm. 150.
[13] Philipp Frank (20 Maret 1884, Wina , Austria-Hongaria - 21 Juli 1966, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat ) adalah seorag fisikawan, matematikawan dan juga seorang  filsuf selama paruh pertama abad ke-20. Dia adalah seorang yang logis-positivis, dan anggota dari Lingkaran Wina. Buka http://en.wikipedia.org/wiki/Philipp_Frank
[14] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer …, hlm. 150.
[15] Friedrich Albert Moritz Schlick (Jerman: [Σlɪk] (  mendengarkan ); April 14, 1882 - 22 Juni 1936) adalah seorang Jerman filsuf, ahli fisika dan bapak pendiri positivisme logis dan Lingkaran Wina. Buka http://en.wikipedia.org/wiki/Moritz_Schlick
[16] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer …, hlm. 147-148.
[17] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer …, hlm. 150.
[18] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers - 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM - Abad 21 yang menginspirasi Dunia Bisnis, (Yogyakarta: Andi Offset, 2010),  hlm. 324.
[19] Alfred North Whitehead, Mencari Tuhan Sepanjang Zaman: Dari Agama-Kesukuan Hingga Agama-Universal, ( Bandung, Mizan, 2009). Hlm.
[20] Dikutip dalam F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas …, hlm. 57.
[21] Theo Huijbers, Filsafat hukum dalam lintasan sejarah, (Yogyakarta: Knisius, 1982), hlm. 175.
[22] Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Cet: 2, ( Yogyakarta: Kanisius, 2008),  hlm. 59-60.
[23] Adelbert Snijders , Manusia dan Kebenaran, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 73.
[24] Adelbert Snijders , Manusia dan Kebenaran  ..., hlm. 73.
[25] Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
[26] Estetika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas keindahan. Estetika merupakan ilmu membahas bagaimana keindahan bisa terbentuk, dan bagaimana supaya dapat merasakannya.
[27] Metafisika adalah salah satu cabang Filsafat yang mempelajari dan memahami mengenai penyebab segala sesuatu sehingga hal tetrtentu menjadi ada.
[28] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 56.
[29] K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 179.
[30] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_analitik di Akses tgl 29 – 11 – 2014.
[31] Proposisi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang dapat dinilai benar atau salah
[32] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers …, hlm. 324.
[33] Reza AA Wattimena, Filsafat & Sains(Sebuah Pengantar), (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 180.
[34] Franz Magnis-Suseno, 12 tokoh etika abad ke-20 …, hlm. 55.
[35] Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama: .....hlm. 53.

[36] Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama: ...... hlm. 54.
[37] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer …, hlm. 154.
[38] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer …, hlm. 154.               
[39] Franz Magnis-Suseno, 12 tokoh etika abad ke-20 …, hlm 55.
[40] Theo Huijbers, Filsafat hukum dalam lintasan sejarah …, hlm. 176.
[41] Suhar, Filsafat Umum …, hlm. 270.

No comments: